Beragam Tantangan Memajukan UMKM di Jawa Tengah

Jakarta - Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di Jawa Tengah memiliki perkembangan yang cukup pesat dengan jumlah mencapai 4,1 juta unit usaha. Dalam kaitannya dengan era digitalisasi saat ini terdapat sejumlah tantangan yang harus mendapat perhatian dan solusi bersama.

Menurut Sumarno, Sekretaris Daerah Jawa Tengah, pelaku UMKM di Jawa Tengah masih dihadapkan pada kondisi ketidaknyamanan menghadapi modernisasi khususnya terkait digitalisasi usaha.

Hal ini antara lain disebabkan oleh masih kurangnya pengetahuan mereka terkait penggunaan teknologi di dalam industri. Mereka juga lemah dalam hal pemasaran atau marketing online, dimana sebagian pelaku UMKM masih mengalami kesulitan dalam menjalankan bisnis online. 

“Selain itu, beberapa area di Jawa Tengah ini belum ter-cover dengan transportasi online atau pengiriman barang secara online, sehingga kemudian masih sedikit pelaku UMKM yang berorientasi pada pasar ekspor sehingga perlu adanya pendampingan dalam kaitannya dengan marketing online,” ungkapnya dalam webinar diskusi bertema ‘Akselerasi Transformasi Digital di Sektor Perdagangan dan Industri, yang diselenggarakan oleh Dewan Teknologi dan Informasi dan Komunikasi Nasional (WANTIKNAS), Rabu (2/2/2022). 

Sumarno juga menilai kurangnya pengetahuan masyarakat terkait teknologi pembayaran non-tunai menjadi kendala, padahal hal ini telah menjadi prasyarat penting dalam perkembangan digital marketing. 

“Kalau bicara marketing online maka digitalisasi ini tidak lepas dari cara pembayaran yang dilakukan dengan non-tunai. Masih kurang pengetahuan masyarakat dalam penggunaan pembayaran non-tunai ini juga yang menjadi kendala,” tambahnya. 

Sehingga kemudian, Ia berharap dibutuhkan adanya upaya bersama dalam mendorong edukasi dan pendampingan bagi pelaku UMKM agar paham dengan teknologi pembayaran non-tunai dan paham akan pemasaran berbasis digital.

“Kondisi sekarang mau tidak mau UMKM ini harus masuk di dunia penjualan secara online. Kalau tidak masuk tentu saja akan tertinggal.” 

Pemerintah sendiri telah berupaya mendukung peningkatan kapasitas pelaku UMKM agar bisa bersaing menghadapi dunia digital ini. Upaya itu antara lain melalui literasi digital, bentuknya berupa pelatihan teknis dan workshop. 

“Kita juga melakukan fasilitasi melalui pendampingan ekspor kepada para pelaku e-commerce ini.” 

Tidak hanya itu, pemerintah juga mendorong upaya peningkatan daya produksi UMKM, bentuknya berupa fasilitasi adanya kemitraan antara pelaku UMKM dengan jasa pengiriman. Selain itu juga dilakukan edukasi dan pendampingan masyarakat untuk menggeluti model usaha dropshipper, sebagai salah satu upaya penanggulangan kemiskinan di Jawa tengah. Pemerintah dalam hal ini membangun kerja sama dengan  meningkatkan kerja sama dengan Marketplace. 

“Dari aspek perpajakan mungkin nanti dari Kementerian Keuangan bisa memberikan solusi pencerahan sehingga upaya kita untuk mendorong UMKM agar bisa masuk dalam pengadaan barang dan jasa di pemerintahan.” 

Menghadapi beragam tantangan terkait UMKM ini dibutuhkan kolaborasi dari berbagai pihak, tidak bisa hanya oleh pemerintah semata. Kolaborasi dengan perluasan jaringan akan memberikan inovasi dan inspirasi baru serta risiko. 

“Kami pemerintah Jawa Tengah juga berkolaborasi dengan perguruan tinggi dan organisasi riset untuk mengembangkan infrastruktur dengan mengembangkan co-workingspace untuk memfasilitasi para UMKM agar lebih bisa masuk di dalam era digitalisasi ini.” 

Dijelaskan Sumarno bahwa Pemprov Jawa Tengah telah melakukan survei terkait kebutuhan UMKM dalam mendorong transformasi mereka di era digital. Hasilnya, sebagian besar UMKM, yaitu sekitar 95,24 persen butuh bantuan pemasaran. Dukungan lain yang paling dibutuhkan adalah peningkatan keterampilan dan manajemen usaha 95,34 persen, serta kebutuhan akan bantuan modal sebesar 96,4%.

Dukungan lain yang diharapkan adalah keringanan biaya operasional biaya untuk usaha sebesar 89,19 persen, pendampingan/konsultasi usaha sebesar 89,06 persen, kemudahan administrasi untuk pengajuan pinjaman sebesar 75 persen. Lalu terkait penundaan pembayaran pajak masih ada 55,21 persen, penundaan pembayaran pinjaman 53,06 persen. 

Dalam kaiatnya dengan perpajakan, menurut Sumarno, ada sejumlah yang dihadapi ketika ingin melibatkan UMKM dalam pengadaan barang dan jasa dengan pemerintah.

Menurutnya, baik pemerintah provinsi maupun pemerintah pusat ingin agar UMKM bisa lebih dilibatkan untuk pengadaan barang di pemerintahan. Di pemerintah pusat terdapat aplikasi Bela Pengadaan, sementara di provinsi terdapat aplikasi BlankOn yang bertujuan untuk mewadahi pelaku UMKM agar bisa terlibat dalam mengadakan barang dan jasa di pemerintahan. 

Hanya saja, menurutnya, terdapat kendala terkait masalah perpajakan, yang kemudian menjadi hambatan bagi UMKM untuk bisa masuk dalam pengadaan barang dan jasa dalam pemerintah. 

Kendalanya, di dalam pengadaan barang dan jasa seolah-olah semua penyedia barang dan jasa pemerintah termasuk UMKM harus merupakan Pengusaha Kena Pajak (PKP), sehingga kemudian harus dikenakan pajak pertambahan nilai (PPN). 

Menurutnya, ini menjadi masalah yang besar karena sebagian UMKM nilai omzetnya masih di bawah nilai dimana mereka harus masuk dalam kategori PKP, yaitu Rp4,8 miliar. Sebagai konsekuensi masuk dalam kategori PKP adalah adanya kewajiban untuk membayar PPN.

“Kemarin kami berdiskusi dengan Bukalapak yang sudah berkoordinasi dengan Bela Pengadaan menyatakan bahwa ternyata semua harus di PKP-kan. Sehingga UMKM pun harus meminjam nomor PKP dari Bukalapak. Hal ini memberatkan teman-teman UMKM karena mereka kemudian dikenakan biaya PPN padahal seharusnya non-PPN, ini membuat harga akan menjadi lebih mahal.” 

Hal lainnya, terkait Marketplace, dimana kewajiban Bendahara sebagai wajib pungut menjadi kendala tersendiri, karena begitu pengadaan barang dan jasa pemerintah dilakukan melalui Marketplace, maka akan menjadi masalah terkait aspek perpajakannya. 

“Kalau Marketplace yang biasa, pelaporan pajak dilakukan oleh si penjual. Jadi teman tenant yang ada di Marketplace itulah yang akan melaporkan. Namun ini akan berbeda perlakukannya ketika pembelian dilakukan oleh pemerintahan. Untuk pengadaan barang dan jasa oleh pemerintah yang ditransfer itu tidak seluruhnya tapi dikurangi dengan PPN ketika menjadi PKP.”

Sumarno berharap permasalahan ini menjadi concern bersama untuk dibicarakan dan dicari solusi jika ingin mendukung UMKM masuk dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah secara online di Marketplace. 

“Ini aspek perpajakannya mungkin harus diubah, apakah bahwa untuk pengadaan barang dan jasa pemerintah yang dilakukan melalui Marketplace maka kewajiban Bendahara sebagai wajib pungut mungkin harus dilepas sehingga Bendahara maupun masyarakat perlakuannya sama.” 

Menurutnya, untuk mengeliminir kewajiban yang harusnya wajib pungut maka Bendahara harus diwajibkan melaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) terkait pengadaan barang dan jasa yang dilakukan di Marketplace. 

“Nanti subjek pajaknya yang akan melaporkan adalah tenant sendiri, tapi dari pihak kantor pelayanan pajak bisa mengonfirmasi karena datanya juga disampaikan oleh teman-teman dari Bendahara.” 

Ia berharap permasalahan ini bisa didiskusikan dengan baik, sehingga persoalan perpajakan ini tidak justru menjadi penghambat bagi UMKM untuk bisa masuk dalam pengadaan barang dan jasa di pemerintah. 

Ia berharap harus ada Marketplace sendiri untuk pengadaan barang dan jasa di pemerintah, tidak bisa menjadi satu kesatuan Marketplace pengadaan dan jasa berbeda yang dilakukan oleh masyarakat sendiri.

“Kalau saya sampaikan tadi bahwa solusi yang lebih mudah adalah Bendahara harus dilepas dari kewajiban menjadi wajib pungut untuk pengadaan jasa melalui Marketplace. Tapi diwajibkan harus melaporkan kepada KPP pengadaan barang dan jasa yang dilakukan di Marketplace.”

Beri rating artikel ini:

https://github.com/igoshev/laravel-captcha

Berita Terbaru

Berita terbaru dari Wantiknas