Link and Match SDM TIK di Era Digital: Menyiapkan Talenta Digital Lokal Siap Kerja, Siap Wirausaha

Manado - Gojek, Traveloka, Tokopedia, Bukalapak merupakan empat perusahan rintisan (startup) Indonesia yang masuk dalam jajaran perusahan rintisan unicorn. Bahkan Gojek sudah termasuk dalam kategori decacorn, yang artinya valuasi dari perusahaan tersebut sudah menembus 10 miliar USD. Maraknya perusahan digital rintisan di Indonesia, belum diimbangi dengan penawaran (supply) talenta digital yang handal. Talenta digital merupakan SDM yang memiliki keterampilan mumpuni dalam teknologi informasi dan komunikasi (SDM TIK).


Menjadikan Indonesia sebagai “The Digital Energy of Asia,” itulah visi yang telah dideklarasikan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo di Silicon Valley, California, Amerika Serikat pada pertengahan Februari 2016 silam. Untuk mewujudkan visi tersebut, Pemerintah Indonesia di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian yang berkolaborasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) telah menciptakan peta jalan e-Commerce dan ekosistem industri teknologi digital di Indonesia yang terus berkembang.


Memang bukan cita-cita kosong, berdasarkan data dari riset Mapping & Database Startup Indonesia 2018 yang dilakukan oleh MIKTI bersama BEKRAF disebutkan bahwa jumlah startup di Indonesia saat ini adalah 992 yang tersebar dari Sumatera hingga ke Sulawesi. Sayangnya pertumbuhan jumlah startup tersebut tidak didukung oleh ketersediaan SDM yang berkualitas.


Bukan hanya dirasakan oleh para startup, bagi kebanyakan perusahaan teknologi dan digital mendapatkan SDM yang berkualitas membutuhkan effort tersendiri. Menurut Michael Page Indonesia, sebuah perusahaan konsultan perekrutan tenaga kerja profesional, perusahaan-perusahaan harus bersaing ketat untuk mendapatkan karyawan yang tepat. Menurut survey ini, dalam periode Maret 2016-April 2017, terjadi lonjakan 60% kebutuhan tenaga atau lowongan pekerjaan di industri teknologi dan digital. Lonjakan kebutuhan diperkirakan akan terus terjadi, karena hampir semua pengusaha, dari startup sampai konglomerat yang mencoba melakukan diversifikasi usaha, melihat industri teknologi dan digital adalah masa depan.


Persoalan SDM TIK menjadi isu yang sangat penting untuk dibicarakan karena terkait dengan visi The Digital Energy of Asia yang rencananya terwujud pada tahun 2020 nanti. Untuk itu Wantiknas menggelar Diskusi TIK-Talk di Kota Manado pada Rabu, (17/07) lalu dengan tema “Link and Match SDM TIK di Era Digital: Menyiapkan talenta digital lokal siap kerja, siap wirausaha” yang dihadiri oleh para praktisi dan akademisi yang ada di Sulawesi Utara.


Yang Lain Surplus, Indonesia Minus
Memang rasanya visi “The Digital Energy of Asia” akan menjadi sulit untuk diwujudkan jika persoalan SDM ini tidak segera diatasi. Bukan hanya Indonesia yang memiliki cita-cita menjadi raksasa digital, hampir semua negara di dunia juga memimpikan hal yang sama. Namun mereka tidak main-main dalam mewujudkan impiannya tersebut. Semua upaya dilakukan mulai dari hulu hingga hilir dengan melibatkan semua stakeholder, termasuk dunia pendidikan.


Dalam Diskusi TIK-Talk kemarin, Prof. Ir. Zainal A. Hasibuan sebagai anggota Tim Pelaksana Dewan TIK Nasional menyebutkan bahwa diperkirakan pada tahun 2030 India akan mengalami surplus ahli digital hingga 245 juta orang, sedangkan indonesia kekurangan 18 juta. “Ini sebuah anomali. Sementara kita kekurangan 18 juta di India sana justru mengalami surplus ahli digital hingga 245 juta orang,” ujarnya saat menyampaikan presentasi. Zainal melanjutkan, bahwa saat ini jumlah mahasiswa TIK di Indonesia 1.6 juta, jika seperempat dari 1,6 juta mahasiswa TIK di Indonesia maka hanya ada sekitar 400rb tenaga TIK. “Indonesia kekurangan talenta digital, saat ini rata-rata pekerja atau 50% nya adalah lulusan SD,” lanjutnya. 


Tidak berpangku tangan, upaya memperbaiki SDM sudah dilakukan dengan menetapkan KKNI (Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia), tujuannya untuk menyetarakan lulusan. Dengan demikian maka dunia kerja juga bisa menerapkan SKKNI atau Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia. Sejalan dengan Zainal Hasibuan, Ketua Aptikom Sulawesi Utara, Ir. Edson Yahuda Putra., M.Kom juga menyatakan bahwa selain persoalan kuantitas yang belum terpenuhi ada persoalan kualitas yang belum siap. “Bukan hanya kuantitas, kenyataannya secara kualitas lulusan TIK di Indonesia kebanyakan masih belum siap dengan kondisi perkembangan teknologi,” ujarnya.
Selain menyoroti persoalan tenaga kerja secara nasional, peserta diskusi juga menyampaikan bahwa secara umum Sulawesi Utara telah melakukan pembenahan-pembanahan sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas SDM. Dengan melibatkan perguruan tinggi, komunitas TIK, dan masyarakat umum provinsi yang memliki potensi pariwisata dan bahari ini berusaha memanfaatkan teknologi digital untuk  menciptakan peluang-peluang usaha bagi usaha mikro, kecil, menengah. Mereka optimis jika pemerintah lokal sudah memberikan peluang, mereka pasti mendapat kapasitas dan akses untuk berkembang.


Secara nasional peserta diskusi merekomendasikan agar persoalan ini terus disuarakan ke lembaga legislatif agar ada regulasi khusus yang menjadi payung hukum. Selain itu pemerintah juga diharapkan membantu masyarakat dalam mendirikan dan mengembangkan UMKM karena dengan banyaknya UMKM maka semakin banyak pula peluang untuk berhasil. 
 

Beri rating artikel ini:

https://github.com/igoshev/laravel-captcha

Berita Terbaru

Berita terbaru dari Wantiknas